Sabtu, 30 Mei 2009

Cerita Kriminal

GARA-GARA PATAH HATI
Alpine Manor, panti jompo lokal di Grand Rapids, Michigan, tahun 1986. Mata
seorang penyelia memicing. Cathy, yang ditatap begitu tajam, jadi grogi.
"Jadi, suami meninggalkan Anda bersama sCeritaeorang anak?"
Dengan menunduk, Cathy mengangguk lemah. Wajahnya mendung, hampir
menangis. Padahal, hatinya terbahak, menertawai Kenneth - suaminya - yang pasti
tengah repot mengasuh putri tunggal mereka.
"Baik, Anda diterima bekerja. Mulai hari ini."
Cathy terbelalak. Tubuhnya yang berbobot 198 kg berguncang. Syukurlah, ia sudah
bosan menganggur lama.
129
Ia segera bekerja sebagai pembantu perawat di panti dengan lebih dari 200 kamar
tidur, masing-masing berisi dua pasien. Sebagian besar pasien menderita penyakit
Alzheimer atau penyakit otak organik lainnya. Sebagian lain menderita sklerosis
ganda atau arthritis parah.
Agak ragu dan tersipu, Cathy memulai kerja. Oleh rekan-rekan kerjanya mungkin ia
dianggap terlalu sopan, atau bahkan kurang percaya diri, lantaran ia memilih makan
sendirian, terpisah dari yang lainnya.
Luka batin
Mata Cathy tertanam ke televisi, ketika Kenneth pulang bekerja pukul enam sore.
Pria pendiam itu hanya bisa menarik napas dalam. Ia mendapati rumah mereka amat
berantakan. Piring dan gelas kotor berserakan, bungkus snacks dan baju kotor
tertebar di lantai. Sementara Cathy - sang nyonya rumah - asyik menikmati opera
sabun di televisi sambil terus mengunyah junkfood.
"Aku benci tugas rumah tangga!" Itu kalimat yang selalu disiramkan Cathy ke telinga
Ken, setiap kali ia ditegur. Karenanya, tanpa banyak cakap, Ken membereskan
rumah, lalu mengurus putri tunggal mereka, Mary, yang juga terbengkelai.
Perkawinan mereka memang berliku. Kenneth Wood baru 19 tahun ketika Catherine
May Carpenter alias Cathy yang baru 16 tahun "menembak"nya.
"Pilih aku atau hobimu!" begitu katanya.
Belum habis kaget Ken, tiba-tiba mereka sudah berpacaran. Cathy, kelahiran tahun
1962 di Michigan, AS, di mata Ken, gadis yang unik. Ia lahir di tengah keluarga
kurang harmonis. Ayahnya seorang sopir truk gudang yang pernah bekerja di
Vietnam, dan ibunya petugas pembukuan.
Sang ayah yang pemabuk berat sering memukulinya dan selalu mengatainya "si
gemuk".
Tumbuh tanpa belaian kasih sayang, Cathy pun kurang dicintai ibunya. Sebagai
anak tertua, begitu banyak pekerjaan yang harus ia tangani. Termasuk merawat dua
adiknya.
Itu sebabnya, Cathy lebih suka mengurung diri di kamar ketimbang bergaul dengan
teman sebaya. Untuk mengendurkan stres, Cathy sering ngemil dan makan dalam
jumlah banyak. Akibatnya, badannya terus memuai.
Ken mengenal Cathy sudah dalam keadaan overweight. Namun, ia melihat gadis ini
amat haus kasih sayang. Ken merasa iba, ingin sekali ia mengisi kekosongan
jiwanya. Ia berharap, bisa memberi Cathy sedikit kebahagiaan.
Ketika Cathy mengaku hamil, Ken pun amat gembira. Mereka putuskan segera
menikah, pada Agustus 1979. Usia Ken waktu itu 20, sedangkan Cathy 17. Ken
bekerja di pabrik mobil, lalu melanjutkan sekolah hingga menjelang kelahiran
anaknya.
Yang agak disayangkan, Cathy kurang memiliki rasa keibuan terhadap putri mereka.
Jika si anak sakit, Cathy mengabaikan penyakit anaknya. Ia malah sibuk
menyalahkan si mungil Mary yang dianggapnya tak bisa menjaga kesehatan. Ken
merasa tak ada gunanya menegur Cathy, sebab yang terjadi kemudian pasti perang
mulut.
130
Ken berusaha memahami masa lalu Cathy yang menorehkan luka batin hingga saat
itu. Walau Cathy kurang lembut hati, malah cenderung kasar, Ken tetap
mencintainya.
Kekasih baru
Sedemikian bergairah Cathy bekerja, sehingga dalam beberapa bulan saja beratnya
menguap jadi tinggal 132 kg. Herannya, kenapa ia jadi pesolek? Penampilannya pun
berubah. Rambutnya dicat warna platinum. Ia juga suka membeli baju baru dan agak
ganjen.
Namun, di balik tampilan baru dan kesigapannya bekerja, Cathy tak bisa
menyembunyikan kekasaran jiwanya. Terutama dalam menangani pasien. Pernah,
penyelia memanggilnya.
"Cathy, ada pasien mengeluhkan pelayananmu."
"Oh ya, akan kuperbaiki sikapku," sahutnya enteng seraya melenggang pergi bak
selebriti.
Sulit mengukur perilaku buruk apa yang telah diubah Cathy. Bahkan, ia melakukan
lagi apa yang dulu pernah mengisi masa remajanya - yakni berhubungan seksual
dengan teman sejenis. Ia menjalin hubungan lesbian dengan rekan kerjanya.
Sekali dua ia berhasil menarik wanita ke dalam pelukannya. Rupanya, itu telah
menggembungkan egonya sedemikian rupa. Ia mengira, dirinya sedemikian
menggoda bagi wanita lesbi lainnya, yang kebetulan bekerja bersamanya.
Hanya dalam bilangan minggu ia betah memberi dan menerima kehangatan dari
seorang wanita. Selaiknya para pria pencumbu, demikian pula perilaku Cathy.
Setelah puas mereguk habis madu sang kekasih, ia akan mencampakkannya.
Selanjutnya, ia siap berburu wanita lain yang lebih menggairahkan.
Dengan penuh percaya diri, cukup dengan mengedipkan mata, wanita buruannya
langsung paham maksudnya. Dengan bujuk rayu sekadarnya, biasanya wanita itu
langsung lumat dalam dadanya yang besar dan lebar.
Apakah perilakunya mengimbas hingga ke rumah?
Tentu. Ken merasakan perubahan itu. Entah sudah berapa bulan mereka tak
berhubungan suami-istri. Cathy seperti sudah mati gairah. Dari salah satu karyawan
panti jompo Ken mendengar istrinya terlibat sejumlah percintaan sejenis. Ia tak dapat
berbuat apa pun untuk membendungnya. Karena lebih membela keutuhan rumah
tangga, ia biarkan istrinya dengan segala polahnya itu. Juga ketika Cathy mulai
minum alkohol dan kerap mabuk di rumah.
Cathy lepas kendali. Di rumah jompo maupun di rumah, tak ada lagi yang bisa
"memegang" dirinya. Bukan saja berlaku bak primadona, di tempat kerja pun ia mulai
menggunakan kekuasaan.
Terhadap rekan kerja yang dibencinya, entah karena menolak diajak bercinta atau
oleh sebab lain, ia menumpahkan air ke selimut pasien mereka. Ia lalu melaporkan
ke penyelia bahwa tempat tidur pasien basah karena ompol, tapi petugas yang
bertanggung jawab tidak menggantinya.
131
Bualannya berhasil, sebab kemudian lawannya itu mendapat peringatan keras.
Cathy menyeringai sinis saat lewat di depannya. "Aku menang," sorak hatinya.
Entah apa yang merasuki Cathy hingga ia merasa amat puas bila melihat orang lain
hancur tak berdaya oleh "power" yang dimilikinya. Tak seorang pun koleganya berani
macam-macam padanya.
Demikian pula para pasien, mereka melihat Cathy seperti melihat monster. Maka, ia
pun makin leluasa menanamkan pengaruh pada lingkungan kerja yang mental dan
emosinya sudah ia rapuhkan.
Hingga pada suatu siang ....
Cathy tengah rebahan di ranjang, ketika penyelia mengetuk kamarnya.
"Ini Gwen. Pembantu perawat baru. Ia akan sekamar denganmu."
Setengah mengangguk, tanpa banyak bicara Cathy langsung membuka lemari
pakaian. Setelah penyelia pergi, Gwen beringsut mengurai isi kopornya. Ia merasa
canggung karena pandangan mata Cathy seperti menelanjangi dirinya.
"Siapa namamu?"
"Gwendolin Gail Graham."
"Usiamu?" "Dua puluh tiga tahun. Aku lahir di Santa Monica, 1963."
Beberapa menit kemudian, mereka sudah akrab. Gwen bercerita, ia anak sulung dari
tiga bersaudara. Ketika berusia 22 tahun, ibunya yang miskin sudah memiliki tiga
anak balita. Sementara itu ayahnya jarang di rumah karena pekerjaannya. Linda,
ibunya, biasa memukuli anak-anak-nya dengan sabuk.
"Waktu umurku 18 bulan, ibu sering menyabetiku dengan kabel listrik," kata Gwen
getir.
Adapun Mack, ayah Gwen, kerap berganti pekerjaan. Kerja serabutan memaksa istri
dan kelima anaknya berpindah-pindah ke seluruh Kalifornia. Sikapnya cukup keras
pada anak-anak. Tak pernah ia menggendong anaknya yang menangis.
"Lihat, di lenganku banyak bekas luka sundutan rokok ayahku." Selama beberapa
tahun, Gwen sering mendapat serangan seksual dari ayahnya. Untuk melepaskan
siksaan emosi, Gwen pun sering menyakiti dirinya sendiri.
Cathy terpaku. Bukan oleh isi cerita Gwen, melainkan oleh gerakan bibir tipis gadis
manis itu saat bercerita. Acap kali matanya menyapu goyangan dada Gwen saat
diguncang emosi.
Cathy tak perlu menunggu lama. Ketika Gwen mulai terisak, sudah cukup alasan
baginya untuk memeluk tubuhnya. Sambil pura-pura berempati, ia leluasa menjamah
dan menekan tubuh Gwen.
Cathy hanya butuh waktu sehari untuk memikat Gwen menjadi kekasih barunya.
Namun, Cathy sedikit tercengang mendapati Gwen pun cukup mahir berpasangan
dengannya.
132
Ternyata, sedari umur 17, Gwen sudah bertualang. Bahkan pernah tinggal bersama
seorang wanita berumur 20 tahun, yang amat mencintainya. Pasangan itu sering
minum sampai mabuk dan terkadang juga saling berkelahi.
"Pacar saya itu mendapat pekerjaan di Grand Rapids. Sejak sebulan lalu kami
putus," adu Gwen.
Cathy menanggapi dengan pelukan.
Usir suami
Hanya seminggu Gwen bekerja dengan baik. Ia amat telaten merawat para lansia.
Rambutnya yang kemerahan dengan senyuman manis dan lugu, membuat para
nenek teringat cucu mereka. Gwen disenangi hampir seluruh penghuni.
Namun, ketika dengan amat posesif Cathy "menguasai" Gwen, tampak sekali
kekecewaan mereka. Setiap kali pasangan ini masuk ke kamar penghuni, para
sepuh itu memandang cemas - bahkan ada yang sangat ketakutan, seolah disatroni
monster.
Dengan mesra mereka menutup pintu kamar, hal yang melanggar peraturan panti
jompo itu. Sambil saling berbisik dan cekikikan, mereka membersihkan dan
mengurus pasien. Bahkan, gilanya, ketika memandikan pasien usia lanjut itu, mereka
berdua pura-pura melakukan aktivitas bercinta. Tindakan serupa pun dilakukan di
ruang tunggu perawat.
Mereka memang sangat keterlaluan. Apalagi ketika Cathy menceritakan affair-nya itu
pada Ken. Bukan skandal itu yang menyentak Ken, melainkan ucapan Cathy ....
"Aku serius dengan Gwen. Kuminta kau keluar dari rumah ini, karena aku dan Gwen
akan tinggal bersama di sini!"
"Kamu gila?" sembur Ken.
"Benar. Aku gila asmara. Pergilah kau!"
Dengan amat marah, Ken membopong Mary pergi.
"Ingat Cathy, suatu saat kau akan menyesali keputusanmu ini!"
Cathy membalas dengan seringai. Tak sampai sejam kemudian, Gwen sudah berada
di sana. Mereka hidup seatap tak ubahnya suami-istri. Keduanya sedemikian
kekanak-kanakan, mengekspresikan cinta dengan saling berbalas puisi yang buruk
kualitas, serta saling meninggalkan pesan cinta pada mesin penjawab telepon.
Persis remaja kasmaran.
Karena kerekatan itu mengganggu suasana kerja, seorang penyelia berusaha
memisahkan mereka berdua dengan menerapkan sistem shift. Namun, keduanya tak
mematuhinya. Ketika pasangan ini bekerja secara terpisah, mereka pun sering
bertukar tugas dengan pembantu perawat lainnya, agar bisa selalu bersama.
Kematian beruntun
Pernah, beberapa kali beberapa pasien mengadu pada pembantu perawat lainnya,
bahwa mereka diancam dibunuh oleh seseorang. Namun, karena sebagian besar
menderita Alzheimer, maka tak ada perawat yang mau percaya pada mereka.
Begitupun ketika seorang pasien kedapatan memar pada pergelangan tangan dan
133
kakinya, tak seorang pun pembantu perawat tertarik akan hal itu. Perawat hanya
melakukan tugas rutin. Celoteh mulut-mulut keriput itu cenderung segera mereka
lupakan.
Apalagi maut memang bisa sewaktu-waktu menjemput para jompo itu.
Contohnya, Marguerita Chambers (60) seorang nenek yang lima tahun sebelumnya
didiagnosis menderita Alzheimer, ditemukan tewas di tempat tidurnya pada Januari
1987. Keluarganya terkejut akan kematian mendadak itu. Namun, karena nenek
malang itu masuk ke tempat ini dengan menyandang penyakit, maka kematiannya
pun dianggap tinggal menunggu waktu saja.
Sebulan kemudian, Februari 1987, Myrtle Luce juga meninggal dunia. Seorang
perawat sempat memperhatikan hidung Myrtle Luce berdarah, tetapi ia mengira
akibat tekanan darah tinggi atau panasnya suhu di panti jompo. Dengan usia 95
tahun dan berat badan yang terus menurun, siapa peduli akan penyebab
kematiannya?
Wanita ketiga yang tewas di ranjang adalah Mae Mason (79). Tak pula ada yang
tertarik menyelidiki penyebabnya. Pihak keluarga pun menganggap sebagai takdir
yang sudah digariskan.
Akhir Februari 1987, seorang pembantu perawat yang kurang disukai Cathy masuk
ke kamar Belle Burkhard (74) untuk mengurus pasiennya itu. Ia terkejut melihat
wanita tua itu tewas dengan lengan terlipat di balik tubuhnya. Memang ada memar di
kedua lengan itu, tapi mungkin itu karena Belle sering mengalami serangan kejang.
Tak ada yang serius menanggapinya, pihak keluarga juga sudah pasrah.
Edith Cook (80) yang sakit parah dan sering mendapat obat penenang. Kondisi
tubuhnya terlalu lemah untuk dirawat karena ia juga menderita gangrene. Ia
ditemukan meninggal dunia pada Maret 1987.
Malah, suasana sepi dan tak nyaman itu diartikan oleh pasangan kasmaran Cathy
dan Gwen sebagai suasana yang amat romantis. Di dalam suasana itu, mereka kian
erat berpagut. Tak terpisahkan. Bahkan mereka berjanji takkan pernah saling
meninggalkan.
Namun, bukankah pohon cinta menja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar